“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday happy birthday to Jeny”
Ini…
“Happy birthday Jen, semoga lo tambah cantik, pinter, dan blablabla”, Sean sahabatku berbicara.
“Makasih”, jawabku singkat.
Aku masuk ke kelasku. XI IPA 4. Terus melangkah duduk tanpa peduli sekelilingku.
“Sakit?”, tanya Sean padauk.
“Lagi gak mood aja”, jawabku lagi
Hari ini ulang tahun yang ke-17-ku. Hari yang seharusnya jadi hari bahagia untukku. Tapi entah kenapa aku jadi lemas, malas, dan tidak bergairah. Mungkin karena satu hal, menurutku. Keributan di rumah yang tak kunjung usai. Ayah ibu yang sering bertengkar, abang yang berandalan… itu membuat rumahku seperti neraka. Entah apa awal dari semua itu. Padahal dulu keluargaku adalah keluarga yang sangat harmonis. Yang aku ingat, malam itu ibu tak pulang dan sejak itu dimulai drama baru keluarga kami.
“Ayah kok pulang telat?”, tanyaku pada ayah yang baru pulang tengah malam.
“Iya. Tadi ada kerjaan tambahan. Ibumu mana?”, jawabnya.
“Ibu belum pulang yah. Tadi sore sih katanya ibu ma uke supermarket”, jawabku sambal memberikan kopi buatanku pada ayah.
“Yasudah kamu tidur sana! Biar ayah yang tunggu ibu”.
“Woy! Ngelamun aja! Pulang yuk!” ajak Sean.
Aku merapikan buku dan memasukannya ke dalam tas.
“Duluan ya”, ucap Sean sambal berlalu dan aku hanya diam.
Aku pulang menyusuri trotoar. Dua bulan ini aku tak suka dengan empuknya jok taksi atau suasana dalam busway. Aku lebih suka berjalan menghirup wangi udara dan alamku dengan tanaman dan pemandangan indahnya, sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam keluarga yang jelek, menurutku. Sekedar refreshing, fikirku.
Setelah dua hari akhirnya ibu pulang. Dia terlihat kumal. Aku ingin bertanya tapi ayah yang saat itu melihat langsung menarik ibu ke kamar. Aku tak pernah melihat ayah sekasar itu. tapi aku juga tak berani ikut campur, dan kemudian terdengar pertengkaran itu. entah apa sebabnya. Yang aku dengar hanya tiga kata itu…
Selingkuh! Kamu! Cerai!
Aku tak mengerti. Sama seperti abangku yang saat itu ada di sampingku. Abang tau resahku dan dia mengajakku berangkat sekolah.
Sejak itulah hari-hari di keluarga kami terasa panas.
Aku sampai di rumah. Lelah, penat. Aku masuk kamar mandi dan semuanya terasa hilang terguyur air. Tengang, damai, dan akupun tertidur.
“Bukan itu mas. Mas salah faham”
“Aku tau semuanya, kamu gak usah ngelak!”
“Mas dengerin aku!”
Aku terbangun. Oh Tuhan, sedetik lalu baru aku rasakan damaiMu dan sekarang?
Aku keluar dengan wajah kesal.
“Mas dengerin aku”, terlihat ibu menarik tangan ayah.
Plak!
“Diam kamu!”
Tuhan, apa ini?
“Ayah!!”, teriakku. “Ayah gak bisa apa gak usah kasar sama ibu? Ibu juga! Kalian berdua udah buat aku sama mas Jack gak betah di rumah! Aku pegel yah! Bu! Aku pengen sehari aja kita kaya dulu. Damai, tentram. Tapi sekarang apa?”
Plak!
Tuhan…
“Ayah. Ayah nampar aku?”. Lirihku sambal menangis.
Aku berlari keluar rumah. Tak ku hiraukan panggilan ayah ibuku.
“Jeny kembali!”.
Samar kulihat abangku mengejar. Tapi aku terus berlari dan tiba-tiba…
Brak! Duk! Dan semuanya gelap.
“Jen”, seperti ada yang memanggilku. Terlihat sebuah cahaya dan aku terbangun.
“Aku dimana?”, tanyaku pada siapapun yang ada disitu.
“Jen, kamu sadar? Kamu ada di rumah sakit”, jawab abangku.
Aku ingat kini. Truk itu yang membawaku kesini.
“Mau makan? Dokter bilang kalo kamu udah sadar dua hari lagi kamu boleh pulang”, ujar abangku lagi dan aku mengangguk.
Dua hari kemudian, saat aku masuk dalam rumah ini
“Ayah ibu mana bang?”, tanyaku.
Aneh memang. Apa saking sibuknya mereka tak menjengukku di rumah sakit? Tega!
“Kamu mandi dulu aja sana”, pinta abangku.
“Dik, bangun udah sore”, suara abang memecah mimpi-mimpiku.
“Mau jalan-jalan ke taman?”, tanya abang yang dijawab anggukan kecilku. Entah kenapa sore itu terasa tenang, damai.
“Bang, ayah ibu?”, tanyaku saat kami berjalan.
Berpuluh mata lentik memandang kami. Tak aneh. Abangku memang pangeran tampan yang jenius. Sayangnya abang harus terjun ke dunia hitam jalanan sebagai pemberontakan pada ayah ibu.
“Ini, titipan buat kamu dik”, ujar abangku sambal memberikan sepucuk surat. Tak lama kemudian kubuka.
Sore itu ibu pergi ke swalayan. Ibu berfikir akan memasak makanan kesukaanmu dan abangmu. Tapi naas nak. Preman-preman itu datang dan merampas semuanya. Tapi taukah nak? Ibu tak peduli. Yang ibu fikirkan hanya bahan makanan itu, untukmu dan abangmu. Saying, kebaikan tak berpihak pada ibu. Mereka menendang punggung ibu dan ibu terjatuh. Semua gelap nak. Tapi tangan ibu erat memegang bahan makanan itu. ibu tak tau apa yang kemudian terjadi. Yang ibu lihat ketika ibu bangun, ibu ada di sebuah kamar. Bahkan pakaian ibu pun sudah terganti. Ibu bangun dan mencari tau dan ternyata ibu ada di rumah om Arman. Dia cinta monyet ibu saat SMP dulu. Dia juga sahabat ayahmu. Dia baik. Tapi sayangnya keluarganya diambang kehancuran. Entah apa penyebabnya. Yang ibu tau, istri Arman menelpon ayahmu dan dia berkata dusta. Ibu takut dan bingung. Bagaimana jika ayahmu percaya? Tapi om Arman meyakinkan ibu bahwa ibu harus pulang, demi kamu dan abangmu.
Ibu pulang dengan pakaian ibu, sengaja karena takut kalian semua salah faham. Ibu bertekad menjelaskan sebelum ayahmu bertanya. Tapi ayahmu menyimpan marah. Ibu tak diberi kesempatan bicara nak! Ibu kalah. Apalagi ayahmu mengancam perceraian. Ibu menangis, yang ibu fikirkan anak-anak ibu. Karena kalianlah ibu bertahan. Tapi entah mengapa taka da yang mengalah nak. Ayahmu semakin marah dan ibu tak kuasa menjelaskan. Ibu tau ini semua bukan sepenuhnya salah ayah, meskipun kadang ibu fikir ayahmu egois. Hingga semua berpuncak pada kata-katamu sebelum tabrakan itu. ibu sadar, harus ada air diantara kami. Tak mungkin api padam jika dilawan api. Dan ibu berusaha menjadi air itu nak. Berkali-kali ibu mencoba hingga akhirnya api itu padam.
Ayah ibu baikan, tapi malah terbaring tak berdaya. Ayah ibu bingung. Dokter memvonismu pergi dalam beberapa hari karena tak mungkin kamu hidup dengan alat bantu terus. Dan munculah keputusan itu. ayah dan ibu tidak takut. Kami tak peduli dengan resiko yang terjadi nanti. Ayah ibu siap. Mungkin ini salah satu cara ibu membahagiakanmu, juga ayah. Kami tak takut sakit nak. Ayah ibu ikhlas. Tapi sebelum itu kami menemui abangmu. Memintanya untuk selalu menjagamu walau nanti telah berkeluarga. Ibu juga minta abangmu meneruskan usaha-usaha ayah, yang akan digantikan om-mu dulu sampai abangmu siap. Ibu sedih mengingat abangmu dulu nak.
Jenny, jangan sedih. Ibu telah meminta om dan tante menjaga kalian. Bahkan mereka siap pindah ke rumah kita. Apapun yang terjadi, jangan merasa bersalah Jen! Ayah ibu melakukan ini dengan cinta. Jadilah anak baik. Hormati dan bantulah abangmu. Ibu selalu mendoakanmu dari sana. Kita akan bertemu lagi nanti.
Aku menangis di pelukan abangku.
“Tak ada yang perlu disalahkan dik”, ujar abangku.
Tuhan, ini memang jalanmu. Kau kembalikan abang meski ayah ibu harus pulang. Tapi setidaknya aku masih bisa mereka lewat hati dan jantung ini.
Terimakasih Tuhan. Jalan hidup ini begitu berliku tapi sangat indah.
Aku kembali berjalan berdampingan dengan abangku. Abangku yang berjalan mengejar segala kesuksesannya dan aku yang berjalan merebut bahagiaku yang sempat tertunda.
Selesai ditulis, 27 April 2013

0 Komentar