Kata 'Jaluk' dan 'Ngiket' yang Disandingkan dengan Perempuan

  


Dalam beberapa kasus perjodohan, penggunaan kata jaluk dan ngiket masih menjadi hal yang biasa di masyarakat Indonesia. Kedua kata tersebut dianggap lumrah. Padahal menurut saya, penggunaan kedua kata tersebut secara tidak langsung menjadi bentuk supremasi laki-laki terhadap perempuan. Bagaimana tidak? Kedua kata tersebut menurut saya memiliki makna kekuasaan sesuatu terhadap sesuatu.

 

Jaluk

Kata jaluk dalam Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia (1993, 321) memiliki arti pinta atau minta. Kata ini biasa digunakan oleh laki-laki atau keluarga laki-laki terhadap keluarga seorang perempuan untuk tujuan menikah. Obrolan seperti ini sering terlontar dalam percakapan sehari-hari. Baik percakapan keluarga atau percakapan antara tetangga. Baik di lingkungan bangsawan atau rakyat biasa.

Dalam beberapa kasus, saya menemukan percakapan ibu dan anak seperti ini : “cung, keluarga pak Suwiryo jaluk adek wadonmu kanggo anak lanange”. Tentu nama Suwiryo dalam percakapan tersebut adalah fiktif. Namun, kita lihat penggunaan kata jaluk yang disandingkan dengan perempuan, yang dalam percakapan tersebut menggunakan diksi adek wadon.

Kata jaluk digunakan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan. Secara tidak langsung hal ini menandakan perempuan lebih rendah dari laki-laki karena di-jaluk, diminta. Apakah tidak bisa menggunakan kata lamar atau melamar? Konotasi penggunaan kata jaluk menjadi negative di mata saya karena dalam prosesnya perempuan diminta seperti barang, meskipun cara memintanya baik-baik. Apakah pihak perempuan bisa menolak? Bisa. Tentu bisa. Namun kata jaluk biasanya ditunjukan bukan untuk perempuan yang akan dinikahi, melainkan keluarga perempuannya seperti orang tuanya, kakaknya, pamannya, dan lain-lain.

Perempuan bisa menolak? Bisa. Tapi dalam banyak kasus, jawaban perempuan yang di-jaluk akan dijawab oleh orang yang di-jaluki (yang tidak lain adalah keluarga pihak perempuan). Oleh karena itu, kebanyakan perempuan yang di-jaluk hanya bisa mengemukakan penolakannya kepada keluarganya saja, tidak langsung kepada laki-lakinya atau pihak laki-laki.

Jika pihak yang di-jaluki (keluarga) setuju dengan penolakan perempuan yang di-jaluk, maka akan disampaikan penolakan pada pihak yang jaluk. Namun jika yang di-jaluki tidak setuju dengan penolakan perempuan yang di-jaluk, seringnya pernikahan tetap dilaksanakan. Apakah perempuan bisa berontak? Boleh. Jelas boleh. Silahkan saja. Namun jika bisa, pemberontakan tersebut harus dengan tutur kata dan tingkah laku yang cerdas.

 

Ngiket

Kata ngiket dalam Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia (1993, 321) berarti mengikat. Kata ini biasa digunakan oleh laki-laki kepada perempuan yang sudah di-jaluk. Penggunaan kata ini menandakan bahwa perempuan tersebut akan dinikahi oleh laki-laki yang jaluk. Perempuan yang sudah diiket tidak bisa menikah dengan laki-laki lain. Itu hukumnya. 

Anehnya, saya tidak pernah menemukan kata ngiket bersanding dengan kata laki-laki. Perempuan ngiket laki-laki. Belum pernah dengar kan? Hal ini memberikan gambaran bahwa ngiket juga bermakna supremasi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan diikat, sedangkan laki-laki mengikat. Terlihat jelas siapa yang memiliki kuasa dan tidak. Perempuan bisa menolak? Bisa. Namun kembali ke catatan saya di awal bahwa jaluk dan ngiket itu berhubungan. Ketika yang di-jaluki sudah setuju perempian di­-jaluk, maka otomatis laki-laki yang jaluk sudah ngiket perempuan tersebut. dengan kata lain perempuan tersebut sudah di-iket.

Dalam banyak percakapan yang saya lakukan denganlaki-laki, alibi ketika saya sandingkan kata ngiket kepada mereka adalah : “kan laki-laki iso milih”. Loh memang perempuan tidak? Perempuan juga punya hak memilih yang sama. Lalu untuk apa ada emansipasi jika perihal memilih pasangan saja masih dibeda-bedakan?

Saya sangat menyayangkan bahwa masyarakat kita terutama laki-laki dan perempuan muda banyak yang belum aware akan hal ini. Atau mungkin saya yang terlalu berlebihan? Saya rasa tidak. Banyak kata-kata yang digunakan dalam masyarakat yang sebetulnya perlu dikaji. Memang, saya tau dan sadar bahwa hal tersebut merupakan budaya dan tidak mudah untuk dirubah, apalagi yang sudah tertanam beratus-ratus tahun. Namun sebagai manusia yang diberi akal untuk berfikir dan hati untuk merasa, setidaknya kita sadar bahwa sesuatu yang sudah lama digunakan dan berfungsi dengan baik pun masih bisa di upgrade supaya lebih baik.

 

Tks.

(Tulisan ini saya buat sebagai refleksi atas obrolan saya dengan teman yang menceritakan perjodohan adiknya subuh tadi)

 

1 Komentar