shalat menggunakan bahasa selain Arab

Secara sosialinguistik, bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang saling berkaitan. Keduanya memiliki hubungan mutualistic. Antara satu dengan lainnya saling ketergantungan, membutuhkan, dan menguntungkan. Ujaran dan bunyi disebut bahasa jika berada dan digunakan oleh masyarakat. Demikian pula masyarakat tidak dapat eksis dan bertahan tanpa adanya bahasa untuk berkomunikasi. Sedangkan shalat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Perintah shalat lima waktu diberikan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa Isra Mi’raj. Lalu apa hubungan keduanya?

Satu decade terakhir, santer pemberitaan mengenai sekelompok orang yang menggunakan bahasa selain Arab dalam shalat. Sontak ini membuat masyarakat Indonesia yang notabennya tidak semua faham hukum Islam menjadi bingung. Hukum shalat menggunakan bahasa selain Arab pun menjadi ramai dibicarakan baik bagi kalangan pesantren maupun akademisi.

Beberapa kalangan sering menghubungkan bahasa sebagai budaya masyarakat dan ketentuan shalat sebagai ibadah yang langsung diperintahkan Allah Swt sebagai dua hal yang berkaitan. Ada kalangan yang berpendapat bahwa jika Nabi Muhammad Saw lahir bukan di Arab, kemungkinan besar bacaan shalat juga tidak menggunakan bahasa Arab. Terkadang ada beberapa orang yang menjadikan pengandaian tersebut sebagai landasan untuk menentukan hukum mengenai permasalahan ini. Menurut saya hal tersebut kurang tepat. Seperti yang kita tahu bahwa dalam menentukan hukum, ulama saja menggunakan sumber rujukan dari Alquran, hadis, imja’ dan qiyas. Jika kita menentukan hukum hanya dengan pengandaian seperti itu, tentu tidak bisa diterima.

Dalam perjalanan sejarah Islam belum saya temukan adanya kelompok yang menggunakan bahasa selain Arab dalam shalat. Dalam perkembangan peradaban Islam, bahasa Arab bahkan menjadi alat pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Ibadah-ibadah Islam banyak yang menggunakan bahasa Arab karena merupakan bahasa yang paling kaya dan sempurna diantara bahasa-bahasa lain. Bahasa yang tetap akan terjaga keasliannya sampai hari kiamat dan tidak akan terkontaminasi oleh lajunya peradaban dunia. Tidak seperti bahasa lain yang mudah tercemar seiring dengan globalisasi dan majunya peradaban. Beberapa pendapat ulama mengenai bahasa Arab diantaranya :

a.       Abu Mansur Al Tsalaby dalam muqaddimah kitab Fiqh al Lugah al Arabiyyah mengungkapkan bahwa : “Siapa yang mencintai Allah Swt pasti mencintai Rasulullah Saw, orang yang mencintai Rasulullah Saw yang orang Arab pasti akan mencintai bangsa Arab, orang yang mencintai bangsa Arab pasti mencintai bahasa Arab, dan orang yang mencintai bahasa Arab pasti akan menjaganya, akan konsisten terhadapnya, akan mencurahkan semangat kepadanya. Allah Swt akan menunjukannya kepada Islam dan melapangkan dadanya untuk iman, mendekati kebaikan, meyakini bahwa Muhammad Saw adalah rasul terbaik, bangsa Arab adalah umat terbaik, bahasa Arab adalah bahasa dan ucapan terbaik dan jika memahaminya akan mendapatkan kemakmuran beragama. Yakin bahasa Arab adalah sarana ilmu dan kunci memahami agama serta menjadi sebab kesuksesan kehidupan dan kematian”.

b.       Dalam pandangan Umar bin Khathab mempelajari bahasa Arab tidak hanya sekedar mempelajari bahasa pada umumnya, akan tetapi bahasa Arab juga menautkan pembelajarnya pada pokok-pokok keluhuran, nilai dan moral.

c.       Imam Syafi’i

Beberapa pendapat Imam Syafi’I mengenai bahasa Arab adalah sebagai berikut :

“Bahasa orang Arab adalah bahasa yang terluas teorinya, terbanyak kosakatanya, dan kita tidak akan mengetahui orang selain Nabi yang memelihara kualitas bahasa Arab tersebut dengan seluruh ilmunya”

 

“Sesungguhnya Allah Swt mewajibkan atas seluruh umatnya untuk mempelajari bahasa Arab dengan disertai pembahasan tentang Al Qur’an dan beribadah kepada-Nya”

 

 

 

 

d.       Al Jahiz

Al Jahiz merupakan sastrawan terkemuka pada masa Dualah Abbasiyah. Ia adalah orang pertama yang mengembangkan sastra Arab dalam pengertian sempit, yaitu adab (belles-letters). Al Jahiz juga merupakan guru para sastrawan Baghdad. Pandangannya tentang bahasa Arab didasari pada pendekatan sejarah bahasa (sinkronik-diakronik). Setidaknya ada 3 pokok pendapat Al Jahiz tentang bahasa Arab, yaitu: Pertama, Dari segi akar sejarahnya, bahasa Arab tidak terpisahkan dengan ujaran nabi Ismail. Nabi Ismail adalah orang yang fasih berbahasa Arab, padahal ia dibesarkan pada lingkungan bahasa yang lain. Sehingga membuat bahasa ibunya menjadi bahasa yang asing baginya. Kedua, ketika Allah mengubah lisan Ismail untuk mengucapkan bahasa Arab tanpa kegagapan, tidak hanya merubah bentuk lisan secara fisiologis saja, namun juga secara watak. Kemudian menggabungkan keduanya menjadi paduan akhlak Ismail yang terpuji dan lisan yang fasih. Ketiga, orang Arab mempunyai tuturan yang darinya bahasa Arab menjadi berkembang, kaya kosakata, makna katanya jelas, serta gaya bahasanya sangat kaya.

 

Dalil merupakan bagian yang sangat penting dalam mencari atau menemukan suatu hukum. Dalil menjadi pijakan oleh mujtahid dalam menetapkan hukum. Dalam permasalahan shalat menggunakan bahasa Arab, dalil yang digunakan sebagai landasan hukum juga berbeda. Imam Ayafi’i tidak memperbolehkan shalat menggunakan bahasa selain Arab karena berlandaskan pada hadis yang berbunyi sebagai berikut :

صلو كما رأيتمون أصلي

Imam Syafi’I mengartikan hadis ini secara tekstual atau apa adanya. Apa yang diajarkan dan dipraktekan oleh Nabi Muhammad Saw termasuk bacaan shalat menggunakan bahasa Arab harus diikuti dan tidak boleh menggantinya dengan bahasa selain Arab atau terjemahan. Imam Syafi’I menegaskan hal tersebut dikarenakan shalat adalah urusan ibadah, bukan muamalah.

Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i. Menurut Imam Abu Hanifah, seseorang boleh menggunakan bahasa selain Arab atau terjemahan dalam shalat asal bacaan yang diterjemahkan tersebut adalah kalam Allah (Alquran), bukan ungkapan manusia. Pendapat Imam Abu Hanifah tersebut berdasarkan pada hadis yang berbunyi :

انّ أنزل القران على سعبة احرف

Imam Abu Hanifah menggunakan penalaran rasionalisasi dan qiyas serta menekankan makna.

 

Shalat menggunakan bahasa selain Arab memang sudah dibahas dalam banyak forum. Saya pribadi tidak bisa menetapkan hukum apakah menggunakan bahasa lain dalam shalat termasuk haram atau makruh atau sesat. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu dan pengetahuan saya sehingga sangat tidak pantas untuk menentukan hukum. Namun, jika boleh berpendapat saya pribadi lebih menganjurkan shalat dengan bahasa Arab. Beberapa alas an yang saya gunakan adalah :

a.       Dalam fiqh, kita menemukan banyak sekali perbedaan pendapat mengenai hukum ibadah sampai muamalah. Sebagai orang yang berpendidikan, tentu kita tidak hanya mengambil pendapat yang menguntungkan diri sendiri. Namun, lebih memilih pendapat yang diyakini mampu meningkatkan taraf keimanan kita karena pada akhirnya adanya fiqh adalah jalan untuk meningkatkan keslaman, keimanan dan ketaqwaan kita sebagai muslim. Perbedaan pendapat dalam hukum fiqih bukan menjadi masalah yang harus dibesar-besarkan jika pendapat-pendapat tersebut berdasarkan pada Alquran dan hadis. Shalat dengan menggunakan bahasa Arab menurut saya akan lebih memotivasi kita untuk mempelajari bahasa Arab. Setelah menguasai bahasa Arab, dengan mudah kita akan memahami ajaran Islam lebih luas.

b.       Berdasarkan perkembangan sejarah Islam klasik, pertengahan dan modern yang saya tahu, belum ada golongan yang shalat menggunakan bahasa selain Arab. Hal ini menunjukan bahwa umat Islam menerima bahkan mungkin menikmati shalat mereka dengan bahasa Arab.

c.       Pendapat mengenai “jika Nabi Muhammad Saw bukan orang di Arab kemungkinan besar shalat pun tidak menggunakan bahasa Arab” itu terlalu tidak masuk akal menurut saya karena tidak ada jaminannya. Saya belum menemukan ulama yang menanggapi hal tersebut.

d.       Saya setuju dengan pendapat KH. Said Aqil Siradj yang menyebutkan bahwa “hikmah shalat menggunakan bahasa Arab adalah untuk menjaga orisinilitas Islam. Seandainya shalat itu bisa diterjemahkan, lama-lama bisa surut-surut terus hilang seperti agama lain. Islam dengan berbagai madzhab semua shalatnya sama, sholat harus berbahasa Arab, kalau doanya bisa berbahasa Indonesia.

Istinbath adalah proses mengeluarkan hukum dari Alquran dan Sunnah. Dalam melakukan istinbath, para ulama menggunakan banyak metode salah satu diantaranya yang juga saya gunakan dalam menganalisis permasalahan ini adalah selalu memperhatikan realitas masyarakat dalam mengembangkan pola istinbath hukumnya. Hal demikian ini dapat dimaklumi karena penempatan penemuan hukum sesuai konteks realitas adalah bentuk lain dari penerapan nilai-nilai etis yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam. Suatu produk hukum dapat terintegrasi dalam nilai-nilai etika sehingga dapat berimbas kepada terjadinya keharmonisan manusia didalam menjalankan kehidupannya bersama kelompok masyarakat setempat. Atas dasar pertimbangan semacam itu tidak sedikit para ulama yang menganjurkan untuk melakukan perkawinan antara teks dan konteks didalam proses istinbath hukum demi menghasilkan suatu produk yang relevan dengan konteksnya, sehingga ia dapat diterima oleh kalangan khalayak dengan baik karena pada akhirnya hukum tersebut akan menjadi aturan bagi masyarakat.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Skripsi

Asadurrohman, Muhammad. “Hukum Waris Beda Agama : Studi Metode Istinbath Hukum Abdul Aziz bin Baz Abdullahi Ahmed an Na’im dan Yusuf al Qardhawi. Tulungagung : Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. 2019

 

Faizun, Muhamad. “Salat Menggunakan Bahasa Terjemahan : Studi Komparasi Pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’I”. Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Klijaga. 2016. Tidak diterbitkan

 

Jurnal

Fathi Hidayah. “Kearbitreran Bahasa Arab dan Urgensi Mempelajarinya dalam Pandangan Linguis Arab Klasik”. Jurnal Studi Arab. Vol. 10. No. 2. 2019.

 

Artikel

M. Azmi Hanan Asikin. Urgensi Bahasa Arab

 

Internet

https://www.nu.or.id/post/read/3008/said-aqil-haram-sholat-berbahasa-indonesia

https://www.nu.or.id/post/read/5602/shalat-dua-bahasa-tidak-sah

https://muslim.or.id/56873-berdoa-dengan-bahasa-indonesia-di-dalam-shalat.html

https://islam.nu.or.id/post/read/82685/sejarah-diwajibkannya-shalat

 

0 Komentar