Feminisme Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta




Feminisme, satu pemikiran yang didalamnya mengandung unsur egaliter bagi hak laki-laki dan perempuan telah berlangsung cukup lama di Pesantren Wahid Hasyim. Dalam satu dekade terakhir bahkan mungkin lebih, Pesantren Wahid Hasyim telah memakai asas feminisme. Salah satu yang menjadi fokus utama adalah masalah pengajar atau ustadzah di madrasah. Pesantren wahid hasyim sebagaimana pesantren pada umumnya merupakan lembaga Islam yang mensakralkan kitab-kitab klasik para ulama terdahulu. Yang mana dalam prespektif sebagian masyarakat kitab-kitab tersebut tidak terlalu mengusung feminusme atau kesetaraan gender.  Di dalamnya kaum hawa hanya sebagai bagian dari kehidupan yang universal. Bukan pelaku.
Dewasa ini, meskipun telah banyak isu-isu gender, feminisme dan egaliter antara laki-laki dan perempuan sepertinya belum terlalu masuk dalam rasio kyai pesantren yang sangat mensakralkan kitab-kitab klasik tersebut. Memang benar, dewasa ini telah banyak pesantren yang membebaskan kaum wanita untuk mempelajari qur'an, hadits dan kitab klasik. Hanya saja sangat sedikit pesantrrn yang memperbolehkan wanita menjadi guru atau ustadzah di madrasah. Mungkin ada beberapa, tapi itu tentu untuk mengajar santri yang perempuan juga. Tidak banyak ditemukan pesantren yang dimana membebaskan seorang perempuan menjadi guru atau ustadzah bagi kaum laki-laki.
Pesantren wahid hasyim sebagai sebuah lembaga pesantren juga tidak menafikan ini. Meskipun pada kenyataannya banyak santri putri dari lulusan Ma'had Aly yang kemudian  mengajar dan mengabdikan diri sebagai ustadzah disini. Kedudukan sebagai ustadzah dan mengajar adalah sebuah ikon feminisme yang langka di kalangan pesantren pada umumnya. Karena kemudian ustadzah ini juga akan mengajar para kaum laki-laki walaupun dalam tingkatan MI sampai SMA yang biasa disebut murid tahassus.  Ustadzah yang lulusan Ma'had Aly ini biasanya berumur diantara 20 tahun keatas dan sedang melakukan study di universitas. Memang, selain tahasus ada juga Madrasah Diniyah atau madin yang mayoritas dikaji para mahasantri atau santri yang sedang study di universitas. Dalam tingkatan ini, para ustadzah juga diperbolehkan mengajar tapi masih dalam lingkup kelas perempuan. Sedangkan kelas laki-laki masih tetap dipegang oleh para ustadz. Ada beberapa kemungkinan yang bisa diambil:. Pertama; karena minimnya ustadzah yang ada. Ini karena tidak banyak mahasantri putri yang lulus dari Ma'had Aly tiap taunnya, kedua; karena perbedaan umur yang tidak begitu jauh dan mungkin ditakutkan akan terjadi ketidakteraturan dalam proses belajar mengajar. Seperti misalkan karena diajar oleh teman sendiri jadi malas atau bahkan karena yang mengajar perempuan jadi tidak focus. Ketiga; karena perempuan cenderung memiliki rasa malu yang besar. Para ustadz yang mengajar para mahasantri putri saja sering gugup apalagi sebaliknya. Dan masih banyak kemungkinan yang terjadi.
Tapi disamping itu, kita perlu memberi penghargaan baik karena bagaimanapun eksistensi ustadzah atau guru perempuan di Pesantren Wahid Hasyim sangat diakui. Disampiang siapa yang diajar. Bahkan menurut Malika, seorang mahasantri yang lulus Ma'had Aly tahun ini, keputusan mengangkat ustadzah ini didasarkan pada potensi yang dimiliki. Jadi bisa jadi kalau Pesantren Wahid Hasyim menghasilkan banyak perempuan kompeten maka akan banyak pula ustadzah yang eksis dalam sistem belajar mengajar di pesantren ini. 


0 Komentar