BALIDWIPAMANDALA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Balidwipmandala adalah sebutan untuk pulau Bali abad 9 sampai 14. Pada masa itu di Bali disebut ada beberapa raja yang memimpin. Disebutkan pula bahwa di Bali pada antara abad tersebut memiliki hubungan dengan Kerajaan di Jawa. Bali yang saat ini masih kental dengan budaya dan hormatnya pada para leluhur memiliki sejarah yang luar biasa yang akan dikaji pada makalah kali ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kerajaan-kerajaan di Bali?
2. Bagaimana struktur pemerintahan di Bali?
3. Bagaimana struktur masyarakat di Bali?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerajaan di Bali[1]
1. Berdirinya
Awal mula berdirinya kerajaan di Bali ini tidak disebutkan secara pasti. Ini dikarenakan sulitnya membaca prasasti karena kebanyakan dilarang oleh masyarakat setempat atau diperbolehkan tetapi dengan syarat yang sulit. Penelitian oleh orang asing (ahli-ahli Belanda) dimulai pada tahun 1885 M yang kemudian seiring berjalannya waktu dapat membuka jalan untuk penyelidikan sejarah Bali Kuno yang diperkirakan antara abad 9-14 ini. Banyak prasasti-prasasti yang kemudian diterbitkan (salinannya) oleh mereka.
Berita tertua tentang Bali berasal dari Pulau Bali itu sendiri. Prasasti yang tidak berangka tahun yang ada beberapa jumlahnya. Bahasa yang dipakai Sansekerta. Ada juga ditemukan beberapa buah cap kecil dari tanah liat yang ditulisi mantra-mantra agaama Budha yang mana mantra tersebut juga ditemukan diatas pintu Candi Kalasan yang berasal dari abad 8 M. Oleh karena itu, cap tersebut juga diperkirakan berasal dari abad 8 M. Mungkin pada abad itu para bhiksu dan pendeta Budha telah datang dan menetap di Bali. Atau bahkan jauh sebelum itu. Kemudian juga ada prasasti yang tidak berangka tahun yang menyebutkan bahwa kraton (panglapuan) terletak di Singhamandawa. Berita tertua dari bangsa asing dapat diketahui dari Cina. Diman ada penyebutan kata Po-li yang diperkiraan adalah Bali.
Dari keterangan-keterangan itu dapat disimpulkan bahwa di Bali pada abad 8 M terdapat suatu kerajaan yang berpusat di Singhamandawa.
2. Raja-raja
a)    Rajakula Warmadewa/ Sri Kesariwarma-dewa (835 S)
b)    Sang Ratu Sri Urgasena (837-864 S)
c)    Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa beserta permaisurinya : Sang      Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi (877-889 S)
d)   Jayasingha Warmadewa (882 S)
e)    Jayasadhu Warmadewa (897 S)
f)     Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (905 S)
g)    Dharma Udayana Warmadewa beserta permaisurinya : Gunapriya    Dharmapatni (911-923 S)
h)    Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa (944-947 S)
i)      Paduka Haji Anak Wungsu (971-999 S)
j)      Sri Maharaja Sri Walaprabu (1001-1010 S)
k)    Pasuka Sri Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma            Laksmidhara Wijaya Uttunggadewi (1010-1023 S)
l)      Sri Suradhipa (1037-1041 S)
m)  Sri Jayasakti (1055-1072 S)
n)    Ragajaya (1077 S)
o)    Jayapangus (1099 S)
p)    Sri Maharaja Haji Ekajaya Lancana beserta ibunya : Sri Maharaja Sri           Arjaryadengjaya/ Kentana (1122 S)
q)    Bhatara Guru Sri Adikunti (1126 S)
r)     Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adidewa/ Lancana    (1182 S)
s)     Paduka Sri Maharaja Bhatara Mahaguru Dharmattungga Warmadewa/         Bhatara Guru (1246 S)
t)     Welajaya Krtaningrat beserta ibundanya (1250 S)
u)    Paduka Bhatara Sri Asta-asuraratna Bumi Banten (1259 S)
3. Prasasti
Prasasti-prasasti pada masa balidwipamandala terbilang banyak. Prasasti paling banyak ditemukan dari masa pemerintahan Anak Wungsu.[2] Beberapa prasasti yang ditemukan :
a)        Prasasti berangka tahun 804 S/ 882 M. Isinya tentang pemberian ijin kepada para bhiksu yang akan membangun pertapaan dan pesanggrahan di daerah bukit Cintamani mmal. Batas ditetapkan dan dibebaskan pajak. Jika bhiksu meninggal warisannya diurus dan ditetapkan (sebagian untuk membeli alat-alat pasanggrahan). Disebutkan pula bebrapa orang pejabat tinggi pemerintah : senapati sarbwa, dinganga dan beberapa senapati rendahan. Juga disebutkan pula bhiksu Siwakangsita, Siwanirmala, Siwaprajha dan partapasanansastra di Katahan serta Hyang Api dan Hyang Tanda.
b)        Prasasti Bradah berangka tahun 929 S. Isinya memperingati kunjungan Mpu Bharada yang pertama kali ke Bali sehubungan dengan wafatnya Gunapriya. Kunjungan ini terjadi tahun 929 dan hal ini penting sekali mengingat Mahendradatta adalah keturunan raja Sindok.
c)        Prasasti Ujung (Hyang) berangka tahun 932 S. Isinya disebutkan menyebut Bhatara Banu-wka dua kali. Mungkin yang dimaksud Bhatara Banu-wka disini adalah Udayana, yang setelah meninggal dikenal dengan sebutan Bhatara lumah di Banu-wka.
d)       Dan lain-lain
4. Keruntuhan
Tidak disebutkan secara jelas tentang bagaimana runtuhnya kerajaan ini. Hanya saja dalam satu keterangan disebutkan bahwa tahun 1265 S Bali ditaklukan oleh Gajah Mada. Kemudian Bali dikuasai oleh keluarga Raja Jawa. Mula-mula pusat pemerintahan di Samprangan, kemudian dipindah ke Klungkung. Beberapa abad kemudian yang memerintah di Klungkung tetap menganggap dirinya “wong Majapahit” artinya keturunan Majapahit. Bahkan anggapan itu sampai sekarang sih ada. Oleh karena itu pula maka Paduka Bhatara Sri Asta-asuraratna Bumi Banten bisa dikatakan sebagai raja terakhir Bali.

B. Struktur Pemerintahan[3]
Dalam pemerintahan, raja dibantu oleh Badan Penasehat Pusat. Dalam prasasti-prasasti tertua (804-836 S) badan ini disebut dengan panglapuan, somahanda senapati di panglapuan, pasamaksa dan palapknan. Sejak masa pemerintahan Gunapriya dan Udayana, badan penasehat pusat ini disebut dengan pakira-kiran i jro makabaihan[4] yang terdiri dari beberapa orang senapati dan pendeta.
1. Senapati
Menurut Goris[5], senapati pada masa lampau dapat dibandingkan dengan punggawa pada masa Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Klungkung (setelah Majapahit). Di daerahnya sendiri mereka juga berkuasa tentang kehakiman merangkap sebagai hulubalang dan juga mempunyai semacam panglapuah sendiri.
Beberapa jabatan senapati :
a)        Senapati Sarbwa   
b)        Senapati Dinganga  
c)        Senapati Danda
d)       Senapati Balmbunut
e)        Senapati Waranasi         
f)         Senapati Wrsabha
g)        Senapati Maniringin
h)        Senapati Pinatih
i)          Senapati Kuturan
j)          Senapati Tunggalan
k)        Senapati Wrsanten
Marwati Djoened Poesponegoro menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia jilid II bahwa ada beberapa raja yang pada prasasti atau keterangan lain tidak diketemukan jabatan senapati pada masa pemerintahannya. Banyak juga keterangan mengenai pergerseran jabatan senapati pada setiap masa pemerintahan (seperti dari senapati maniringin menjadi senapati dinganga). Kemudian ada juga keterangan tentang beberapa senapati yang tetap menjabat pada masa pemerintahan raja berikutnya.
Selain pakiran-kiran i jro makabaihan (badan penasehat pusat) terdapat juga petugas atau pejabat lain baik yang tergolong pegawai tinggi ataupun rendahan hanya tugas mereka yang belum diketahui secara jelas seperti Samgat, Caksu, Nayaka, Pasukganti atau Panjingganti, Pamudi, Banjar, Manuratang, Juru Gasali, Mabwat Haji dan lain-lain. Yang pasti sejak jaman dahulu telah ada pembagian tugas yang baik. Artinya persoalan kecil (tidak penting) cukup dilaporkan pada petugas desa dan sebaliknya.

2. Pendeta
Dalam prasasti tertua golongan ini dikenal dengan sebutan bhiksu.[6] Kemudian pada tahun 836 S unuk pertama kalinya disebutkan adanya golongan pendeta yang mmegang jabatan dalam pemerintahan yaitu Ida mpu danghyang Agni Sarma, Srinaga, Bajra dan Tri. Kedudukan mereka di pemerintahan adalah sebagai Ser Tunggalan Lampuran.
Mula masa pemerintahan Udayana, golongan mpungku sewagota yang merupakan wakil dari agama Siwa dan Budha sering disebut-sebut dalam prasasti. Dalam prasasti, golongan pendeta Siwa disebut dengan gelar Dang Acaryya sedangkan golongan pendeta Budha disebut Dang Upadhyaya. Umumnya pendeta agama siwa lebih banyak disebut daripada pendeta Budha seperti pada jaman raja Anak Wungsu, Ragajaya, Jayapangus dan Tagajaya. Bahkan sampai sekarangpun di Bali presentasi agama Siwa lebih banyak daripada Budha.
Pada saat pemerintahan raja Anak Wungsu, pendeta agama Siwa maupun Budha disebut mpungku.[7] Kemudian seperti halnya senapati, pendeta besar juga mengalami pergeseran kedudukan. Hanya saja bukan kedudukan jabatan. Dilihat dari buku Marwati Djoened Poesponegoro menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia jilid II lagi bahwa pergeseran kedudukan ini lebih ke pergantian tempat atau wilayah. Seperti yang tadinya menjabat pendeta di Kanyabhawana menjadi di Binor.

C. Struktur Masyarakat[8]
1. Golongan
Pembagian golongan ini diketahui pada masa pemerintahan Anak Wungsu. Sedangkan sebelumnya tidak ditemukan sumber yang menyatakan tentang kasta. Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu catur warna dan luar kasta (budak).[9] Catur Warna terdiri dari kaum Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra. Tapi seringkali disebut Triwangsa yang terdiri dari kaum Brahmana, Ksatrya dan Wesya. Ini mungkin dikarenakan Sudra merupakan kasta terendah. Di Bali dikenal pula istilah kaun Jaba yang berarti luar.[10]
2. Peraturan
Dalam prasasti-prasasti banyak peraturan-peraturan yang diatur dengan baik. Seperti tentang perkawinan, kematian, perbudakan, pencurian, warisan, pajak dan sebagainya. Contoh dalam perkawinan, bila penduduk desa berbuat salah ingin memperistri gadis keturunan Brahmana, kasta santana, hunjeman an juru kling mereka harus membayar denda Pamucuk sebanyak 2 ku masing-masing. Jika tidak mau membayarnya maka ditambah dengan hukuman dande sebanyak 2 ku masing-masing dan tidak dikenai segala macam saji-sajian.
3. Seni
Pada jaman Raja Anak Wungsu seni mulai dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu seni kraton dan seni rakyatSeni kraton tidaklah berarti seni tersebut tertutup bagi rakyat. Kaangkala seni ini juga dipertontonkan untuk rakyat di desa-desa sebagaimana seni rakyat.
Jenis-jenis seni yang ada pada jaman dahulu adalah patapukan (atapukan-topeng), pamukul (amukul), pamukul gamelanmenmen (topeng), abanwal (permainan badut), pirus (permainan badut), abonjing (bunjing), musik angklungbhangsi (peniup suling), masuling (peniup suling), pasangkha (peniup serunai-terompet), parbwayang (dalam permainan wayang), awayang i haji (permainan wayang untuk raja), aringgit (permainan wayang kulit), abusyaabanjuranatalitalygendangparpadha/ padahi (pemain genderang) dan lain-lain.
4. Agama
Di Bali, kita mengenal dua agama besar yang ada yaitu agama Siwa (Hindu) dan agama Budha.[11] selain adanya dua agama besar, di bali juga terdapat sekte-sekte kecil yang menyembah dewa tertentu seperti sekte ganapatya (penyembah gana), Sora (penyembah surya) dan sebagainya.
Erdapat pula bangunan-bangunan keagamaan seperti : satra, partapanan, hyang wihara, sima, sala, silulung, kaklungan, pangulumbigyan, pendem, prataya, aluki, kamulan, somba bambaran, pirmahang ssangga meru, umah sanghyang dan sebagainya.
5. Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat Bali kuno umumnya bercocok tanam. Namun ada pula yang beternak, berburu, pande (pembuat perhiasan, alat rumah tangga, alat pertanian, senjata dan lain-lain), berdagang dan sebagainya. Perdagangan baik dalam negri atau antar pulau di Bali berkembang dengan pesatnya. Tapi disamping itu, pajak juga diterapkan dengan baik.





BAB III
PENUTUP

Bali Kuno yang diperkirakan antara abad 9-14. Dalam pemerintahan, raja dibantu oleh Badan Penasehat Pusat (pakira-kiran i jro makabaihan) yang terdiri dari senapati dan pendeta. Juga ada petugas atau pejabat lain baik yang tergolong pegawai tinggi ataupun rendahan hanya tugas mereka yang belum diketahui secara jelas seperti Samgat, Caksu, Nayaka, Pasukganti atau Panjingganti, Pamudi, Banjar, Manuratang, Juru Gasali, Mabwat Haji dan lain-lain. Sedangkan struktur masyarakat di Bali Kuno hingga sekarang masih banyak ditemukan seperti dari segi kasta (golongan), praturan, seni, agama dan perekonomian.



DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro Marwati Djoened, dkk. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta :        Balai Pustaka, 1977.





[1] Marwati Djoened Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia II, 1977, 129-160
[2] Kurang lebih 28 prasasti ditemukan
[3] Marwati Djoened Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia II, 1977, 160-174
[4] Istilah ini mungkin sekali berasal dari kata kira-kira yang berarti petugas atau jabatan yang berkewajiban memberi tafsiran atau nasehat
[5] Dr. R. Goris, seorang sarjana epigrafi mengkhususkan dirinya terhadap penyelidikan prasasti-prasasti yang terdapat di Bali
[6] Misalnya di dalam prasasti Sukawana A I ada keterangan tentang pemberian izin kepada para bhiksu untuk membangun pertapaan
[7] Contohnya Mpungkwing Haritantan yang berarti Mpungku ing Haritantan
[8] Marwati Djoened Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia II, 1977, 174-205
[9] Pembagian ini sebenarnya berasal dari India (Hindu). Seperti juga yang di sebutkan dalam prasasti Bila tahun 955 S
[10] Ada yang menyamakan bahwa Jaba dengan Sudra dan merupakan bagian diluar Triwangsa. Tapi kaum Jaba tidak mau disamakaan dengan Sudra yang berarti golongan bawahan Triwangsa.
[11] Agama Budha baru muncul di dalam prasasti dari Raja Udayana tahun 915 S atau 114 tahun kemudian dari kemunculan agama Siwa.


0 Komentar