Namaku Al. Ayah memberi nama itu padaku. Umurku 16 tahun, dan ini umur terindahku karena kini aku tahu apa itu kebebasan.
5 tahun lalu.
"Ibu jahat! Ibu ga sayang sama Al!", ucapanku tiap kali berdebat dengan ibu atas sejuta larangannya pada hal-hal yang aku sukai.
Ibuku memang keras, apalagi ayahku. Mereka tak pernah izinkan aku bermain sepuasku. Padahal saat itu adalah waktuku. Dimana aku mulai berjalan dengan rasa ingin tahuku. Tapi seperti biasa, kutahu tanpa kumengerti orang tuaku tak pernah memberi aku ruang untuk menumpahkan hasratku.
"Kamu belajar aja sana yang rajin. Ngaji yang bener! Kamu anak ayah dan ibu!", jawaban ibuku yang tak kumengerti ketika aku meminta izin untuk ikut les tari bersama teman-teman kecilku.
Apa salahnya menari? Itu indah! Apa malah aku yang salah karena lahir dari keluarga ini? Aku tak pernah minta!
Dan seperti biasa aku hanya diam. Hatiku kecewa, dendam, kesal, marah! Aku ingin seperti yang lain. Bebas melakukan apa yang ingin dilakukan. Melakukan apa yang disukai. Sayangnya, aku tak berani berbicara pada ayah. Diam ayah selalu menunjukan rasa tak sukanya. Ayah lebih keras dari ibu!
Kadang aku bertanya. Mencari tahu kenapa ayab ibuku begitu kerasnya padaku. Padahal pada adik-adiku tak pernah aku lihat sikap seperti itu. Atau aku saja yang tidak tahu?
"Ayah ibumu hanya sedang mempersiapkanmu sebagai penerusnya. Lihat yayasan yang sedang mereka rintis. Siapa yang akan melanjutkan kalau bukan kalian anaknya?", jawaban yang tak pernah menghilangkan pertanyaanku.
Kenapa seperti itu? Aku tak suka kasta! Yang aku ingjn hanya bahagia! Bebas! Lalu untuk apa keras? Kenapa ayah ibu tidam mendidik aku menjadi orang yang lemah lembut saja? Terkadang aku merasa benci atas posisiku sekarang ini. Berada di tengah keluarga yang tak pernah memberiku kebebasan berfikir. Aku tak pernah dapat jawaban. Hingga hari itu..
2 tahun lalu.
"Yang betah ya! Yang rajin ngaji! Shalat, belajar. Berdo'a untuk ayah ibu. Jangan nangis terus. Ini demi masa depanmu Al!".
Senyum. Hanya senyum yang menghiasi wajahku kala itu. Ayah ibu memasukanku ke dalam pesantren. Jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dan jauh lebih baik tentunya.
Yeah! Welcome in the world! My freedom, man.. this is my freedom!
Tidak ada ayah, ibu, dan larangan-larangan kuno mereka.
Aku mulai berlari, melakukan apa yang aku inginkan. Ini lebih baik menurutku. Tak kuhiraukan kata-kata teman yanv melihatku gila kebebasan. Bolos sekolah, baca buku nyeleneh, kabur dari pondok, jalan-jalan, dan masih banyak lagi. Alasannya simpel, aku hanya ingin cari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan anehku yang terpendam. Memalukan memang, tapi indah kurasakan. Aku mulai mendewakan kebebasan hingga Tuhan menegurku.
19 Maret 2013
"Tuhan membuka matamu Al!". Aku menangis di depan sahabatku. Aku menyesali segala sikap egoisku. Segala nafsuku.
"Kecerdasanmu mengalahkan hati nurani". Satu kata yang kubaca dari buku yang kubeli hari ini.
Tuhan. Terimakasih.
Maafkan aku atas sikapku selama ini. Aku terlalu gila kebebasan. Padahal jika aku mengerti, kebebasan ini tetap ada batasnya.
"Terimakasih Tuhan atas hari ini. Kau buka hatiku. Aku akan lebih baik Tuhan", gumamku lirih.
Akupun terus menangis. Berharap tangisan ini memulai kehiduoan baruku yang lebih baik.
Ps. Cerpen pertama gue yang diambil dari kisah nyata
0 Komentar